**
“Ustadz, maafkanlah saya yang telah memfitnah ustadz dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.”_ Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan ustadz.
Ustadz Ahnad tersenyum. _“Apa kamu serius?”_ Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. _“Saya serius, ustadz. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”_
Ustadz Ahmad terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan ustadz Ahmad kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, ustadz Ahmad mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku.
_“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?”_ Aku benar-benar heran ustadz Ahmad justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
_“Maaf, Ustadz ?”_ Aku berusaha memperjelas maksud beliau.
Beliau tertawa, seperti ustadz Ahmad yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, _“Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,”_ katanya.
Tampaknya ustadz Ahmad benar2 serius dengan permintaannya. _“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Ustadz. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”_
Ustadz Ahmad tersenyum.
_“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke rumahku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”_
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud beliau adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
_“Kau akan belajar sesuatu darinya,”_ kata Ustadz Ahmad. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
*****
Keesokan harinya, aku menemui ustadz Ahmad dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
_“Ini, ustadz, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke rumah ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang ustadz. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang ustadz yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, ustadz. Maafkan saya…”_
Ustadz Ahmad mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. _“Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar sesatu…,”_ katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan ustadz Ahmad yang lembut, menyejukkan hatiku.
_“Kini pulanglah…”_ kata Ustadz Ahmad.
Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi beliau
melanjutkan kalimatnya,_“Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju rumahku tadi…”_
Aku terkejut mendengarkan permintaan ustadz Ahmad kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: _“Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”_
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan beliau.
_“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,”_ tutup ustadz Ahmad. .
*****
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan.
Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai...
*****
Hari berikutnya aku menemui ustadz Ahmad dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada beliau. _“Ini, Ustadz , hanya ini yang berhasil saya temukan.”_ Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada beliau.
Ustadz Ahmad terkekeh. _“Kini kau telah belajar sesuatu,”_ katanya.
Aku mengernyitkan dahiku. _“Apa yang telah aku pelajari, Ustadz?”_ Aku benar-benar tak mengerti.
_“Tentang fitnah-fitnah itu,”_ jawab ustadz Ahmad.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
_“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”_
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata ustadz Ahmad. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
_“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”_
_“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai *dosa jariyah*. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”_
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
_“Astagfirulloh hal-adzhim…_
_Astagfirullohal-adzhim…_
_Astagfirulloh hal-adzhim…”_
Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
_“Ajari saya apa saja untuk mengubur fitnah-fitnah itu, Ustadz. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…”_ Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.
Ustadz Ahmad tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya. _"Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, saudaraku,”_ katanya, _“Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia…Innalaaha tawwaabur-rahiim...”_
Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu...
*****
Semoga Allah mencurahkan maghfirah-Nya kepada kita, saudara-riku tercinta...
π❤π
“Ustadz, maafkanlah saya yang telah memfitnah ustadz dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.”_ Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan ustadz.
Ustadz Ahnad tersenyum. _“Apa kamu serius?”_ Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. _“Saya serius, ustadz. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”_
Ustadz Ahmad terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan ustadz Ahmad kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, ustadz Ahmad mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku.
_“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?”_ Aku benar-benar heran ustadz Ahmad justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
_“Maaf, Ustadz ?”_ Aku berusaha memperjelas maksud beliau.
Beliau tertawa, seperti ustadz Ahmad yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, _“Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,”_ katanya.
Tampaknya ustadz Ahmad benar2 serius dengan permintaannya. _“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Ustadz. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”_
Ustadz Ahmad tersenyum.
_“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke rumahku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”_
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud beliau adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
_“Kau akan belajar sesuatu darinya,”_ kata Ustadz Ahmad. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
*****
Keesokan harinya, aku menemui ustadz Ahmad dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
_“Ini, ustadz, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke rumah ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang ustadz. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang ustadz yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, ustadz. Maafkan saya…”_
Ustadz Ahmad mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. _“Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar sesatu…,”_ katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan ustadz Ahmad yang lembut, menyejukkan hatiku.
_“Kini pulanglah…”_ kata Ustadz Ahmad.
Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi beliau
melanjutkan kalimatnya,_“Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju rumahku tadi…”_
Aku terkejut mendengarkan permintaan ustadz Ahmad kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: _“Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”_
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan beliau.
_“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,”_ tutup ustadz Ahmad. .
*****
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.
Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan.
Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.
Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai...
*****
Hari berikutnya aku menemui ustadz Ahmad dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada beliau. _“Ini, Ustadz , hanya ini yang berhasil saya temukan.”_ Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada beliau.
Ustadz Ahmad terkekeh. _“Kini kau telah belajar sesuatu,”_ katanya.
Aku mengernyitkan dahiku. _“Apa yang telah aku pelajari, Ustadz?”_ Aku benar-benar tak mengerti.
_“Tentang fitnah-fitnah itu,”_ jawab ustadz Ahmad.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
_“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”_
Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata ustadz Ahmad. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
_“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”_
_“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai *dosa jariyah*. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”_
Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
_“Astagfirulloh hal-adzhim…_
_Astagfirullohal-adzhim…_
_Astagfirulloh hal-adzhim…”_
Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
_“Ajari saya apa saja untuk mengubur fitnah-fitnah itu, Ustadz. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…”_ Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.
Ustadz Ahmad tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya. _"Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, saudaraku,”_ katanya, _“Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia…Innalaaha tawwaabur-rahiim...”_
Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu...
*****
Semoga Allah mencurahkan maghfirah-Nya kepada kita, saudara-riku tercinta...
π❤π
0 komentar:
Posting Komentar